Monday, December 14, 2015

Yang Tak Sempat Diceritakan

Malam itu harusnya menjadi malam yang penuh sukacita untukku dan keluarga kecilku. Malam itu aku sedang menyiapkan barang-barang yang hendak kubawa ke Manado. Aku akan merantau bersama suami dan anakku yang baru berusia satu tahun, suami akan memboyongku ke Manado. Tapi, sepertinya tidak demikian dengan ibuku. Dia tampak sedih melihatku yang sedang memasukkan barang-barang ke dalam tas besar. Memang dia sedang sakit, sudah sebulan dia hanya terbaring di kamar tidur, nampak dia makin lesu.
"Besok, kalau Ibu kurang sehat, lebih baik tidak usah ikut mengantar ke bandara" kataku. "Ibu mau ikut saja, insya Allah besok kuat" pintanya. "Jangan memaksakan diri, bu" "Nggak apa-apa, Ibu nggak akan pingsan kok" Lalu dia membaringkan tubuhnya di kasur kamarku, di dekat anakku, cucunya yang paling lecil. "Kalau di Manado, tinggal di mana pun nanti, yang pertama usahakan cari masjid. Setidaknya tanya adakah pengajian ibu-ibu atau majelis ta'lim. Bagus kalau kamu diminta ngajar ngaji anak-anak. Jangan mau digajmenggerakkn, malah kalau bisa kamu yang harus menyumbang untuk kegiatan masjid. Nggak bisa nyumbang uang, nyumbang tenaga juga besar manfaatnya." Nasihat itu diungkapkannya sambil terpejam, sambil menahan sakit pening di kepalanya.
Sudah 12 tahun Ibu mengidap penyakit tumor kulit, lukanya ada di kulit kepala bagian atas. Sudah pernah operasi plastik, seharusnya setelah operasi, ibu menjalani chemo theraphy. Tetapi, Ibu tidak mau menjalani terapi yang membunuh sel kanker itu. Katanya, banyak teman-temannya justru meninggal setelah chemo theraphy.
"Lillahi ta'ala saja lah, waktunya sehat ya sehat, insya Allah sehat" Ucapnya penuh semangat kala itu saat menolak kontrol ke rumah sakit. Pagi buta, setelah shalat subuh, Ibu memintaku merekam dirinya menyanyikan lagu perpisahan. "Vin, nanti rekamlah suara ibu, buat obat rindumu, ya.." Setelah ibu berdandan, di teras rumah, aku merekamnya di Blackberry.
Selamat anakku berpisah Waktunya telah tiba Mari kita mohon pada Tuhan yang maha esa Semoga dikuatkan iman dalam hidup menderita Hanya itu pesan bunda untuk anakku sayang...
Ibu dan saudaraku saat mengantar ke bandara

Dan lagu itu, lagu ciptaan ibuku pagi itu, mengantarku ke Manado. Menjalani hari-hari merantau bersama keluarga kecilku. Meski ada firasat bahwa mungkinkah bahwa ini saat terakhir aku melihat ibuku. Pikiran itu segera kutepis, pilihan hidup mengharuskan aku menjalani takdir merantau ini. Tentu bersama harapan untuk bisa membahagiakan orang tuaku. Jika aku mampu menunaikan bakti pada suamiku, bukankah setidaknya itu membuat ibuku bangga? Bahwa anak perempuannya ini telah dewasa, mampu menjadi istri sekaligus ibu yang baik seperti dirinya. Bahwa memang, segala apa yang ada dalam ibu adalah teladan terbaik bagiku. Ibu yang mendidik empat anaknya, memasak paling enak untuk keluarganya, bekerja sebagai guru di sekolah untuk membantu suami mencukupi nafkah keluarga, rajin menghadiri majelis ta'lim, dan selalu tekun beribadah. Bagiku, dia sempurna.
Sesampaiku di Manado, segera kukabarkan pada keluarga di Jawa. "Alhamdulillah sudah sampe di rumah kontrakan, bu" "Alhamdulillah" jawab ibuku terbata. "Kudengar suara adzan, rumahnya dekat masjid, bu" "Syukurlah, Hahan ndak rewel?" "Tidak, dia tidur saja di pesawat, ini lagi main di kasur baru" "Ya sudah, ibu pusing, mau tidur, ibu capek". Pungkasnya. "Iya bu." lalu terdengar suara telepon ditutup dengan cepat. Mungkin ibu terlalu lelah. Perjalanan dari rumah ibu ke bandara lumayan jauh, 60 km dengan waktu tempuh 60 menit. Ibuku lelah, istirahatlah, bu.
Lalu sejak itu, aku tak lagi bisa berbicara dengan ibu di telepon. Sungguh aku ingin bercerita banyak. Tentang aku sekarang membuat sari kedelai yang kujual di warung-warung, lumayan bisa kutabung untuk beli tiket pesawat kalau ingin pulang. Tentang aku yang sudah mengikuti majelis ta'lim ibu-ibu kompleks. Tentang masakanku yang rasanya hambar dan terpaksa kami makan daripada sayang kalau dibuang. Tentang Hahan anakku, cucunya yang sudah pintar berlari. Tentang banyak hal, tak bisa kuceritakan karena ibu pusing kalau mendengar suara dari handphone. Bapak bilang, Ibu lemas gak kuat berbicara. Berbicara seperlunya apa yang dibutuhkan, itu pun berusaha sekuat tenaga.
Hingga pada 40 hari sejak kepergianku ke Manado, Bapak memintaku pulang. Katanya ibu sudah kondisi kritis, lima hari tidak sadar, kondisinya sedang koma. Aku segera pulang esok harinya. Tiba di bandara Surabaya aku langsung menuju rumah sakit tempat ibuku dirawat. "Bu, ini vina bu"
Tampak ibuku yang hanya terpejam, berusaha membuka matanya. Meski kondisinya koma, sepertinya ibu bisa mendengar dan merasakan keadaan sekitar. Hanya saja dia tak mampu menggerakkan organ tubuhnya. Kuceritakan saja semuanya, semua yang sudah kulakukan di Manado. Kuharap dia mendengarnya, kuharap dia senang dengan ceritaku. Sambil sesekali kubacakan surat Yaasin untuknya, agar dia sejuk mendengar suara merduku mengaji, ini anakmu, bu, pandai mengaji, seperti yang kau ajarkan.
Sampai kemudian dia tak lagi bernafas, kami ikhlaskan kepergiannya. Tuhan telah sembuhkan penyakitnya dan memanggilnya untuk diterima di sisiNya. Tunai sudah fitrahnya sebagai manusia, khalifah di bumi. Dia telah memimpin anak-anaknya menjadi manusia yang bermanfaat, setidaknya bagi keluarga dan berbaik dengan tetangga. Mengingatkanku bahwa perjalanan masih panjang, banyak tugas yang belum ditunaikan. 
Ibuku sayang, dua tahun setelah kepergianmu, masih sedikit pesanmu yang bisa kujalankan. Tapi setidaknya, ada beberapa yang ingin kuceritakan. Aku sudah ikut majelis ta'lim ibu-ibu kompleks, menyenangkan ya bu, mengaji bersama dan diakhiri makan bersama. Aku sekarang jadi guru mengaji anak-anak di masjid bu, ditawari gaji 300 ribu per bulan, tapi seperti pesanmu, aku tidak bersedia menerimanya, bu. Aku mengajar sekolah PAUD seperti engkau, bu, gajinya nggak seberapa, habis di ongkos ojek, tapi hati senang melihat kelucuan anak-anak ya bu. Aku sudah jago masak, aku sudah tahu kalau bumbu kare itu ditumis dulu sampai baunya harum baru campurkan santan dan ayam. Hahan sekarang sudah masuk sekolah PAUD, dia sudah pintar bernyanyi, makin banyaak tingkahnya. Dan aku sudah tahu beratnya menjadi ibu sepertimu, mungkin yang kujalani belum seberapa, karena anakku masih satu.

No comments:

Post a Comment