Maret
2016 ini Mbak Dee telah menuntaskan kepingan cerita dalam enam novelnya.
Supernova yang kaya tokoh dan berbagai tempat seperempat dunia. Jika legenda
AADC akan dilanjut setelah 14 tahun Rangga menjanjikan satu purnama, tidak
demikian dengan Supernova. Novel legendaris Mbak Dee ini mampu istiqomah lahir tiap periode selama 15
tahun. Cerita fiksi yang menyiratkan perjalanan spiritual Mbak Dee dalam
menemukan ajaran kasih Bodhi.
Pengabdian
Mbak Dee pada penulisan Supernova membuat saya terbayang akan pengabdian
Pramoedya Ananta Toer dalam menulis karya-karyanya. Karya yang ditulis di dalam
penjara. Meski jauh dari kenyamanan dan keamanan menulis, penjara tak
membuatnya sejengkal pun berhenti menulis. Sama sekali tidak kepikiran bahwa
karyanya akan disukai orang dan laris di pasaran. Tidak dirampas dan dibakar
saja sudah lebih dari melegakan.
Bukan
saya ingin membandingkan, karena jelas beda dari segi zaman dan aliran
sastranya, juga berbagai segi lainnya. Bung Pramoedya Ananta Toer (biar kerasa
masih muda, nggih Mbah)
menulis di zaman penjajahan Belanda. Sedangkan Mbak Dee menulis di zaman yang
membuat Bung Pram terbakar amarah sendirian. Lalu Bung Pram menulis dengan
aliran sastra realisme sosialis, sedangkan Mbak Dee aliran fiksi ilmiah. Lho,
katanya bukan mau membandingkan.
Baiklah,
saya memang tidak akan membandingkan, tapi perkenankan saya untuk sekedar
mengenang Tetralogi Buru. Mahakarya roman sejarah bacaan wajib muda mudi
gerakan kiri. Masa kakak saya mahasiswa, yang hidup di era Kak Fahri
Hamzah gandrung akan gerakan mahasiswa di sisi kanan, dan Bang Adian Napitulu
di sisi kiri, karya Bung Pram bukan berupa buku, melainkan fotokopian. Beredar
rahasia melalui akad pinjam-meminjam. Memiliki, meminjam, maupun sekedar
membacanya bisa dianggap makar. Maka membacanya harus sembunyi-sembunyi.
Pasca
tumbangnya Bapak Pembangunan, kran demokrasi dibuka deras, uforia kebebasan
berpendapat gempita dirayakan. Pun juga dalam kebebasan menulis. Banyak gaya
jurnalistik dan sastra gaya baru lahir. Muncul berbagai media cetak baru dan
banyak nama penulis karya sastra dikenalkan.
Jujur,
saya berkenalan dengan karya Bung Pram itu agak terlambat. Lebih dulu saya
membaca Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Di masa saya maba unyu, Supernova
lagi ngehits tuh. Nah, demi dibilang kekinian sehingga nyambung dalam obrolah
mahasiswa pers kampus, ya beli Supernova dong, baca dong. Mbak Dee melahirkan
Supernova #1 bersamaan dengan latahnya perempuan penulis yang dikenal dengan
sebutan sastra wangi. Namun Mbak Dee sepertinya kurang berkenan jika dimasukkan
ke dalam sastra wangi, karena toh tulisannya bukan tentang perempuan wangi yang
tabu dan layak untuk dinovelkan.
Baru
kemudian saya mengenal Bumi Manusia, rekomendasi nama Pramoedya Ananta Toer
dari kakak saya. Beruntung saya bermahasiswa saat Supenak jamanku toh sudah lengser keprabon. Saat banyak karya Bung
Pram bisa dibukukan, diterbitkan oleh Hasta Mitra. Sayang tidak semua, hanya
beberapa karya yang berhasil diselamatkan dari rampasan. Dalam wawancara cetak
berjudul Aku Terbakar Amarah Sendirian, Bung Pram mengaku bahwa Tetralogi Buru berhasil
diselamatkan karena beliau menulis dan menyalinnya. Salinan itu beliau titipkan
pada seorang pendeta gereja di Pulau Buru. Bayangkan, menulis empat sekuel
roman sejarah yang tebalnya ngujubileh,
lalu menyalinnya. Semata karena beliau teguh bahwa menulis adalah tugas pribadi
dan tugas nasional.
Atas
segala lelaku hidup yang dilihat dan dialami, tampaknya Bung Pram mampu
meramalkan masa depan anak bangsanya. Bahwa sejarah akan dengan segera
diburamkan. Lewat karakter tokoh bernama Minke, beliau menceritakan liku-liku
sejarah zaman penjajahan. Dengan indera seorang Minke, sang anak bupati,
feodalisme ningrat jawa digambarkan sebagai penindasan kecil yang memuakkan.
Titik awal sebuah pemikiran perlawanan di mana kalimat Adil Sejak dalam Pikiran
yang sohor itu dikenalkan. Dan Minke muda memulai perjuangannya dengan
berwarta. Hingga ternyata, banyak ditemukan kesamaan tokoh dan peristiwa bahwa
Minke tak lain adalah Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo. Pejuang pers yang
baru memperoleh gelar pahlawan pada tahun 2006.
Masa
sekarang, saat saya sudah menjadi Mahmud Abas. Menyempatkan menulis sambil
nungguin anak, sukur kalau bisa kelar membaca novel Intelijensi Embun Pagi yang
tebalnya hampir sama dengan Rumah Kaca. Dua novel pamungkas dari dua penulis
beda zaman. Saya melihat konsistensi menulis dari seorang Mbak Dee sungguh luar
biasa, 15 tahun dia menggenggam seluruhan tokoh dalam imajinasinya. Riset
ilmiah dan spiritual dilakukan demi merampungkan novel yang sudah dianggap
anaknya sendiri itu.
Kehadiran
Supernova selalu disambut dengan ramai hingga menjadi ikon manusia doyan baca
masa kini. Kabarnya, IEP sudah sold out
di mana-mana. Jauh sebelum dilempar ke toko buku, Mbak Dee sudah promo-promo di
akun media sosial miliknya. Bisa order langsung ke beliau plus dapat tanda
tangannya. Saat saya semester dua dulu, saya ikut ngantri tanda tangannya di
acara bedah buku Filosofi Kopi. Tulisannya memang kemripik ringan namun
mengenyangkan bagi semua kalangan. Novel yang dihasilkan dari riset dalam dan
menyeluruh menjadikannya sebuah cerita yang hampir mendekati nyata. Hingga
mampu menginspirasi banyak orang berprinsip dan gaya hidup seperti dalam
cerita. Lewat Supernova, Mbak Dee mampu menebarkan ajaran cinta dan petualangan
tanpa batas.
Maka
kemudian saya berandai, jika saja Tetralogi Buru mengalami nasib baik senyaman
Supernova. Tanpa pernah melewati masa ditulis dalam kamp kerja paksa. Kemudian
kelahirannya tanpa diburu dan diharamkan. Mungkin sejarah tak terlalu buram
seperti sekarang. Hingga penulisnya telah wafat pun tak banyak anak muda negeri
ini yang tahu tentang roman sejarah yang telah diterjemahkan lebih dari 42
bahasa itu. Karya seorang 'anak semua bangsa' yang menjadi buku rujukan ilmu
sastra dan budaya di banyak kampus mancanegara.
Tak lupa,
saya ucapkan selamat kepada Mbak Dee yang mana IEP sudah langsung cetak ulang.
Karya sampean telah membawa ajaran mempesona di tengah sengkarutnya ragam sudut
pandang dangkal nan keras yang riuh di media sosial. Asmara terlarang Ruben dan
Dimas misalnya, menjawab pro kontra LGBT, toh karena mencinta ya tetap tentang
berbuat mencinta, jauh dari soal anggar.
Dan
Tetralogi Buru, jangan biarkan dia tenggelam dikubur masa. Mari terus bercerita
tentang legenda moyang kita. Pendahulu kita orang hebat itu nyata. Zaman
berubah menurut arus waktu, jika Bandung Bondowoso dengan candinya mampu
membuktikan dirinya ada. Maka Bung Pram dengan banyak karyanya telah mewartakan
hebatnya perjuangan bangsa. Semampunya, sekuatnya melawan lupa, Naknyo.
No comments:
Post a Comment