Genap enam bulan keluarga kecil saya menghuni
kontrakan tepi laut di Kota Balikpapan. Profesi suami sebagai abdi Negara di
bawah komando Bu Menteri nyentrik yang hobi bakar kapal negeri tetangga pencuri
ikan. Profesi suami sayalah yang membawa kami merantau ke beberapa provinsi
antar pulau. Bitung, Gorontalo, Manado, dan kali ini Balikpapan yang kami
singgahi.
Selagi meninggalkan keriuhan sosialita teman bermain
di Jawa, merantau memberikan banyak pengalaman berharga bagi saya. Mengamati,
menghargai, dan terkadang mengikuti budaya masyarakat yang kami singgahi demi
mengamalkan di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Yang pasti kami
selalu berusaha menikmati kultur budaya masyarakat tempat kami tinggal. Tahun
lalu di Manado, kami merasakan riuhnya merconan saat mendekati hari Natal.
Tahun ini di Balikpapan, kami menikmati riuhnya merconan di bulan puasa,
mendekati Lebaran. Alhamdulillah.
Nomaden membuat kami jarang punya teman akrab, bila
pingin nyangkruk ya bertiga, saya
suami dan satu anak saya. Itulah maka saya mentolerir kegemaran suami
mengheningkan cipta bersama smartphonenya. Menekuri hp berhaha-hihi larut dalam
obrolan grup rekan kerja maupun alumni kuliah di aplikasi what’s app adalah
hiburannya agar tidak kuper dan apdet berita.
Kontrakan kami terletak di kawasan pelabuhan yang
sibuk dan padat penduduk, menyajikan ragam kehidupan baru yang harus kami
sesuaikan. Dengan penduduk mayoritas suku Bugis yang menyeberang dari Sulawesi
Selatan, Kampung Baru Balikpapan pernah dikenal sebagai kawasan ‘Texas’.
Menurut cerita guru PAUD anak saya yang warga asli Kampung Baru, sekira tahun
2012 ke belakang, tidak sembarang orang berani masuk ke kawasan ini. Saya jadi
membayangkan Brick Mansions ala Balikpapan.
Kampung Baru bisa dibilang kawasan kota tua di
Balikpapan sehingga banyak dijumpai rumah makan maupun kedai heritage yang menyajikan
berbagai pilihan menu. Pun kedai kopi banyak bertebaran di beberapa tempat.
Kebanyakan kedai kopi yang saya temui adalah kedai yang dikelola orang
Tionghoa. Menempati ruangan luas bangunan kuno dengan cat yang tidak terawat.
Semakin kuno, semakin suram, semakin rame
pengunjungnya. Kuno sekaligus menandakan tempat berikut racikan kopi yang
diwariskan dan tak lekang zaman. Khas, tak berubah, dan dirindukan.
Kali ini saya silahkan suami untuk berani ngopi di
luar, yang biasanya bila ingin minum kopi maka saya yang buatkan. Seduhan
sesuai pesanan, takaran sendok teh: 3 kopi 2 gula, kopi Kapal Api. Tapi tentu
saja, ngopi di luar harus ngajak saya dan si balita. Suami takut istri? Bukan,
suami sayang istri.
Saya stalking
akun Instagram @bpnfoodies untuk referensi tempat ngopi paling enak di sekitar
Kampung Baru. Dari penelusuran saya pilihan jatuh pada @nammin_bunsay akun
milik kedai kopi Nam Min di Kebun Sayur. Lha ini kedai kopi yang ada di dekat
pasar tempat saya biasa belanja. Kedai Nam Min ada dua lokasi, lokasi pertama
yang berdiri sejak tahun 1958 berada di Pasar Pandan Sari. Sedangkan lokasi ke
dua berada di belakang Kebun Sayur.
Nam Min Pandan Sari memiliki interior klasik seperti
kedai kopi pecinan, pelanggannya kebanyakan lelaki dan tentu banyak kepulan
asap rokok. Agaknya kurang nyaman untuk anak saya. Sedangkan Nam Min Kebun
Sayur dengan interior terbarukan yang berada di sebuah ruko. Maka kami memilih
ngopi di Nam Min Kebun Sayur.
Dari referensi yang saya peroleh dengan mengetik
#namminbunsay, saya mendapat kabar bahwa Nam Min adalah bakery tertua yang
berada di Balikpapan. menarik, kedai kopi yang menyajikan roti produksi
sendiri. Maka, saya pun memesan 1 roti bakar cokelat keju, 1 roti bakar srikaya,
1 kopi hitam, 1 kopi susu, dan 1 es kopi susu.
Roti bakar lezat, kopi kental nikmat, dan celoteh
anak, tiga paduan pas ngopi di kedai yang telah lama tak kami tunaikan. Suami
saya bercerita tentang betapa remeh namun beratnya dia untuk menikmati segelas
kopi semasa kuliah. Pagi-pagi dia sigap membantu emak kantin di kampus.
Menggotong air segalon, membersihkan meja, dan menatakan perangkat jualan,
untuk kemudian segelas kopi hitam panas tersaji gratis untuknya, kadang bikin
sendiri. Bila kesiangan tak sempat membantu emak kantin, dia merapat ke Pak Yon
tukang parkir kampus, membantu menata barisan motor, demi mendapat satu dua
sruputan kopi.
Kere? “Gak mergo
iku, ma” sanggahnya. Bagi mahasiswa yang numpang nginap di ruang himpunan
mahasiswa jurusan, seribu dua ribu amatlah berarti demi kelangsungan hidup.
Perjuangan dalam mendapat asupan yang halalan thayyiban sangat bergantung pada
kreativitas dan tirakatan. Macak kere ta
mas?
“Lha lapo gelem
soro mek oleh kopi?”
“Yo iku
enak’e ngopi, mari kerjo-kerjo terus nyruput kopi karo rokok’an”
Lalu kami mengenang kopi buatan almarhum Bapak saya.
Pagi-pagi usai wiridan ba’da shalat subuh. Bapak segera menjerang air hingga
mendidih. Dua cangkir kopi diseduhnya, satu untuk Bapak, satu untuk menantunya.
Setelah seteguk kopi lalu ditinggalkan menyapu halaman depan dan belakang
rumah. Usai nyapu, berkeringat, beliau lanjutkan meneguk kopi tak sampai
tandas. Nanti sruput demi sruput dicicil hingga dzuhur, baru cangkirnya boleh
dicuci. Demikian pula jika suami saya sedang berada di rumah orang tua saya.
Minum kopi dengan ritual yang sama, karena dia yang menyapu halaman, maka Bapak
saya cuti menyapu sementara, tapi tidak cuti ngopinya.
Saya tak mau kalah bercerita tentang kopi dan masa
kuliah. Namun juga sibuk meladeni kemauan anak yang lebih suka memakan
bongkahan kecil es batu. Sesekali Hahan anak saya meminum es kopi susu dengan
sedotan.
Ngopi begini rasanya kami berdua jadi agak romantis,
ya minimal jadi akur. Ngobrol santai, melihat suami menghisap rokok tanpa saya
ngomel-ngomel karena bau asapnya. Ternyata dia ganteng juga. Sebentar, saya
sruput kopi susu saya dulu agar pandangan dan pikiran lebih fokus.
Sejenak melupakan kekakuan relasi suami-istri, kami
merasa seperti teman cangkruk yang sepadan. Bukannya di rumah kami jarang
ngobrol, tapi bercengkrama santai dengan pemandangan mainan anak yang
bertebaran agaknya sulit ditunaikan. Maka sebaiknya cangkrukan ngopi keluarga di
kedai maupun kafe begini harus sering diagendakan. Tujuannya tak lain tak bukan
agar Torang Samua Tak Lupa Bahagia.
Lalu saya beli roti tawar Nam Min untuk nanti membuat
roti bakar sendiri di rumah, siapa tahu bahagianya sama.
*Tulisan ini pernah dimuat di Minumkopi.com
bukan pencinta kopi, tapi jadi pingin minum kopi, disini. Salam kenal mak, tahun lalu aku sempet ke Balikpapan,incerannya kepiting deh :)
ReplyDelete