Friday, January 15, 2016

Ustadz Kampung yang Mati Berjihad

خُذُوا الْعِلْمَ قَبْلَ أَنْ يَذْهَبَ ” ، قَالُوا : وَكَيْفَ يَذْهَبُ الْعِلْمُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ، قَالَ:إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ
“Ambillah (pelajarilah) ilmu sebelum ilmu pergi.” Sahabat bertanya: “Wahai Nabiyullah, bagaimana mungkin ilmu bisa pergi (hilang)?” Rasulullah Saw. menjawab: “Perginya ilmu adalah dengan perginya (wafatnya) orang-orang yang membawa ilmu (ulama).” (HR. ad-Darimi, ath-Thabarani no. 7831 dari Abu Umamah).
Adalah seorang ustadz bernama Hamzah. Ustadz kampung yang berasal dari desa Cangak'an, Kabupaten Banyuwangi. Daerah Cangak'an ini terkenal sebagai daerah santri di Banyuwangi. Konon, seorang Kyai bernama Kyai Wo, nggak tau nama lengkapnya, adalah salah seorang tokoh agama yang mbabat kampungku sehingga bernama Kauman. Bersama tokoh agama lain tentunya, termasuk Kyai Karim, yang mendirikan madrasah ibtida'iyah Miftahul Karim, tempatku sekolah dulu.

Aku pernah berguru mengaji pada Ustadz Hamzah saat masih kecil sekira kelas 4 MI, di sebuah bangunan kecil dekat masjid, orang kampung biasa menyebutnya guthek'an. Tetiba aku ingin menulis tentangnya, karena ternyata di tempat rantauku di Balikpapan ini, aku bertemu dengan teman masa kecil sang ustadz. Kaget dan sempat berlinang air mata orang tersebut. Saat kukabari bahwa Ustadz Hamzah sudah meninggal 1 tahun lalu, 7 hari setelah kematian Bapakku, lusa setelah malam memimpin tahlil 5 hari meninggal bapakku.


Dengan orang yang kini bertetangga denganku itu, kami saling bercerita tentang ustadz Hamzah. Pak Usman namanya, setelah menikah di usia 20an dia memboyong istrinya merantau ke Balikpapan. Dan sejak itu tidak bertemu lagi dengan temannya, Hamzah. Hamzah kecil adalah seorang yatim piatu, dia diasuh kakeknya, lalu diasuh pakdhenya. Hingga menimba ilmu di pondok pesantren Kyai Hamid, Pasuruan. Sekilas cerita itu yang kudapat dari Pak Usman tentang Ustadz Hamzah.

Hamzah muda menikah dengan tetanggaku, mbak Habibah. Mereka mengais rezeki dengan berdagang pakaian di pasar. Karena pengetahuan ilmu agama yang dimilikinya, ustadz Hamzah dipercaya menjadi imam masjid Baitul Muslimin di Kauman. Mengajar ngaji kitab kuning bagi bapak-bapak di masjid saat sore, dan juga mengar ngaji kitab kuning di banyak tempat. Aku kerap mendengar pengajiannya melalui TOA masjid yang terdengar sampai rumahku. Meski tidak endengar materinya, sudah menjadi kebiasaan suasana sore adalah sayup terdengar pengajian ustadz Hamzah. Lalu ba'da maghrib hingga isya' suara pengajiannya kembali terdengar, lengkap dengan nadzoman bahasa jawanya. "Utawi man sapane wong..., ing njerone iki iku..." merdu suara mengajinya, lugas dan jelas penyampaian maknanya. Terakhir aku mengikuti pengajian Ustadz Hamzah saat beliau diundang di jam'iyah rotib ibu-ibu, saat itu beliau menjelaskan bab haji.

Ramainya seruan jihad di kalangan pemuda tak ubahnya sebuah seruan yang keren. Jihad konyol biasanya ampuh di kalangan anak muda yang dalam pencarian jati diri dan haus ilmu agama. Ingin mendapat surga secara instan, alih-alih belajar agama kepada guru yang jelas sanad ilmunya, tetapi malah berguru pada ustadz jihadis takfiri. Ustadz jihadis takfiri itu gampang sekali diserap ilmunya, nggak perlu mikir dalam bin njelimet karena jelas materinya surga-neraka, Halal-haram. Titik!
Bandingkan dengan jihad ala ustadz kampung seperti Ustadz Hamzah, dan banyak ustadz lainnya. Tidaklah mereka mendapatkan ilmu secara instan, sejak kecil ditempa ilmu agama, kadang dibully teman hanya karena kurang fasih mengucap huruf "jim" tidak pas makhorijulnya. Dan saat beranjak remaja, mengaji, mengampu berbagai kitab. Menerima berbagai amalan yang diijazahi sang guru, menerima amalan harus dibai'at terlebih dahulu. Bai'at yang berisi janji untuk istiqomah mengamalkannya. Mereka harus senantiasa menjaga diri dari rezeki yang syubhat terlebih yang haram, agar ilmunya bermanfaat dan membawa berkah.

Lalu setelah dirasa matang, sang guru melepas murid untuk berjihad dengan hijrah ke daerah-daerah tertentu. Ada yang dengan jalan pernikahan, perdagangan, maupun cara hijrah yang lain. Nah, agaknya Ustadz Hamzah memilih jalan pernikahan, dengan gadis kauman dari hasil perjodohan.
Keberadaan Ustadz Hamzah di Kauman sangat besar manfaatnya. Pribadi yang santun, sederhana, dan berwibawa. Meski mengajar ngaji di beberapa tempat, dan kerap diundang ceramah pengajian, beliau bukan sosok yang kemustadz (apa ya bahasanya), tetap sederhana apa adanya begitulah. Dan yang paling menonjol dari kegiatan dakwah ustadz Hamzah adalah kecintaannya kepada anak-anak yatim piatu. Untuk kegiatan ini tak terbilang banyak kesibukannya dalam menyantuni anak-anak yatim piatu.

Lalu tibalah pada masa kematiannya. Terang saja warga kauman dan siapa saja yang mengenalnya kaget, tak terkecuali aku. Setelah bapakku meninggal, rong ndinone hingga limang ndinone (malam kedua hingga kelima) ustadz Hamzah yang memimpin tahlil. Hari keenam beliau tidak bisa memimpin tahlil di rumahku karena harus menjenguk anak sulungnya di pesantren pasuruan. Esok pagi setelah pulang dari Pasuruan, subuh beliau mengimami sholat subuh di masjid, lalu mengaji berasama bapak-bapak jamaah. Di tengah mengaji beliau pamit pulang ke rumah yang bersebelahan dengan masjid. Sampai di rumah, beliau bilang pada istrinya, mengeluh sakit perut dan berbaring di tempat tidur. Kemudian beliau pergi menemui Sang Khalik. Subhanallah, kematian yang tenang insya Allah Khusnul Khatimah.

Begitulah kiranya meninggal dalam keadaan berjihad. Tenang, syahdu, damai, dan bersahaja. Tangis istrinya tentu mengiring kepergiannya, bahkan saat aku melayat pun istrinya tidak bisa menemui para pentakziah karena beberapa kali pingsan. Istri yang ditinggalkan dengan empat anak laki-laki, bungsunya masih kelas 1 MI. Dengan cepat kabar duka menyebar, kerabat dan para murid berdatangan, bergantian menyolatkan. Kauman merasa kehilangan, imam, muadzin, guru ngaji, dan kadang merangkap marbot masjid. Hingga saat dikubur terlampau banyak sekali orang datang mengantar jenazahnya ke liang. Dan sesuai dengan amaliahnya, maka pusaranya berada di pesarean belakang masjid Baitul Muslimin.

No comments:

Post a Comment