Tuesday, February 8, 2011

Titik Balik

Bersyukur sampai di sini. Satu kenikmatan yang diberikan Tuhan harus dibayar dengan dimbilnya kenikmatan yang lain. Aku ini manusia yang berpikir, maka kujalankan hidup dengan segala pkirku. Dan kata Pramoedya bahwa "Kita harus adil sejak dalam pikiran", ini memang baik adanya dan patut diperjuangkan. Sebagai manusia yang bermartabat, harga diri adalah satu-satunya hal yang patut diperjuangkan. Di kota Surabaya ini, adalah muara perjalanan selama pencarianku menilik dunia aktivis. Berawal dari sebagai mahasiswa pergerakan, seorang sarjana yang memikul beban harapan, sebagai aktivis pendamping wanita pekerja seks, dan berujung di sini. DI sebuah LSM yang memfasilitasi program sosial kemasyarakatan yang dianggarkan beberapa perusahaan multinasional.


Dalam akltivitasku di LSM ini rasanya aku sudah bukan lagi aktivis, mungkin aktivis semu. Bekerja mendidik masyarakat pedesaan dengan dana dari perusahaan global. Direktur LSM tempatku bekerja mengatakan, karena dia dulunya pernah ngaktivis, "kalau tidak bisa menolak globalisasi maka kita giring globalisasi". Dan aku memaknainya dengan begini, "kalau kita tidak bisa menolak kapitalis, maka kita copet kapitalis". Dan semakin jauh kutinggalkan dunia aktivis yang bohemian, demi kemauan satu nama: Ibu. Benarlah, kini beliau tenang dan bisa membanggakan aku sebagai anaknya yang telah dikuliahkan dengan susah payah.

Masalah orang terkasihku, yang telah bersamaku selama 4 tahun pun harus juga kutinggalkan di Malang. Dia yang masih harus bergelut dengan garapan skripsi tak kunjung usai dalam 2 semester ini. Berteman kekasih barunya yang berprofesi sebagai SPG (Sales Promotion Girl). Katanya, pacar barunya itu lebih cantik dan anggun, pun juga lebih bisa memanjakan dirinya. Ya sudahlah,.. Nampaknya dia sudah jenuh denganku yang tidak anggun, tidak cantik, namun aku merasa juga bisa memanjakan dirinya hahahahah... (entah dengan cara apa? yang pasti tidak seperti mereka)

Kala kukenal ungkapan "Cogito ergo Sum" Descartes, sejak itulah kerahkan segala daya untuk menjadi sang pemikir. Sempat teman-temanku meplesetkan "Libido ergo Sum", dan kami sepakat plesetan ini sebagai lawan mutlak dari petuah sang matematikawan Perancis tersebut. Tak mudah memang, dan usaha ini akan terus berkalang hingga ujung kematian. Selayaknya seumur hidup manusia terkendali pikir, hati boleh sedikit bicara selama tidak melemahkan diri dan tidak merugikan yang lain.

Dan biarlah cinta itu berlalu begitu saja, toh dialah yang menyerah dalam perjalanan ini. Beruntung akulah yang memutuskan mengakhiri hubungan karena pengkhianatan ini. Konsekwensinya maka, 'kan kujelang mimpi yang kubeli. Berjalan di titik balik, dengan kendali pikirku.
Terakhir, dari sastrawan Rusia Leo Tolstoy: "Tuhan Maha Tahu tapi Tuhan Menunggu"

2 comments: