Thursday, April 8, 2010

Jare Modern Jeh!


Membincang Spirit Modernitas
Modern. Satu kata ini seakan memberikan gengsi tersendiri bagi yang mengucapkannya. Ibarat kata sakti yang mampu mengangkat posisi seseorang, sehingga mendongaklah orang di hadapannya. Tidak berlebihan, karena pemahaman modern sebenarnya tidak semudah mengucapkan dan mengakuinya. Seolah modern identik dengan pemakaian atribut yang serba canggih. Tidak sekedar itu, modern sesungguhnya adalah sebuah spirit keakuan setiap individu.

Modern awalnya dipahami sebagai sebuah jaman baru yang merupakan masa krisis atas jaman tradisional. Banyak pemikir yang muncul dengan gagasan baru sebagai pemberontakan atas pengekangan dogma tradisional. Dogma yang dianggap sebagai alat memapankan kekuasaan tertentu. Para perintisnya, seperti Galileo, Bacon, dan Descartes sangat menekankan ”metode” untuk mengetahui. Maka nyatalah, bahwa modern bukan sekedar jaman melainkan sebuah pemikiran.
Banyak ahli sejarah menyepakati bahwa sekitar tahun 1500 adalah hari kelahiran zaman modern di Eropa. Para sejarawan sepakat menentukan tanggal lahir modernitas pada abad ke-16, sambil membedakan zaman sebelumnya sebagai ‘’abad pertengahan’’. Modernitas bukan hanya menunjuk pada periode, melainkan juga suatu bentuk kesadaran yang terkait dengan kebaruan.
Modernitas dicirikan dengan tiga hal yaitu subjektivitas, kritik, dan kemajuan. Subjektivitas dimaksudkan bahwa manusia menyadari dirinya sebagai pusat realitas yaitu yang menjadi ukuran segala sesuatu. Sejarawan Swiss, Jacob Burckhardt, menjelaskan bagaimana manusia dalam masyarakat abad pertengahan lebih mengenali dirinya sebagai ras, rakyat, partai, keluarga atau kolektif. Berbeda dengan abad modern, manusia sebagai individu yang mempunyai kemampuan subjektif masing-masing.
Kritik dimaksudkan bahwa rasio tidak hanya menjadi kemampuan praktis untuk membebaskan individu dari wewenang tradisi atau untuk menghancurkan prasangka-prasangka yang menyesatkan. Di zaman Pencerahan, Kant merumuskan kritik sebagai keberanian untuk berpikir sendiri di luar tuntunan tradisi atau otoritas. Dia sendiri mengatakan “terbangun dari tidur dogmatis”.
Subjektivitas dan kritik pada gilirannya mengandaikan keyakinan akan kemajuan (progress). Kemajuan dimaksudkan bahwa manusia menyadari waktu sebagai sumber langka yang tak terulangi. Waktu dialami sebagai rangkaian peristiwa yang mengarah pada satu tujuan yang dituju oleh subjektivitas dan kritik itu. Maka dengan kesadaran waktu tersebut, manusia dengan kemampuan rasionya merancang proses perjalanan mengisi waktu.
Dari ketiga ciri yang menandai sebuah modernitas, maka bukan atribut kecanggihan yang terpenting dalam kemodernan. Melainkan, spirit kritis yang bersumber dari rasio individu untuk terus maju adalah yang utama. Dan demikianlah manusia berjalan mengendalikan waktu untuk menciptakan sejarahnya. Bukan sekedar larut dalam aliran waktu untuk pasrah pada kekuatan metafisik semata.
Sumber bacaan:
Hardiman, F. Budi. 2004. Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia.

1 comment:

  1. Good Vin... Ayo terus menulis menulis dan terus menulis

    ReplyDelete