Tuesday, March 22, 2016

Mengenang Tetralogi Buru di Era Supernova


Maret 2016 ini Mbak Dee telah menuntaskan kepingan cerita dalam enam novelnya. Supernova yang kaya tokoh dan berbagai tempat seperempat dunia. Jika legenda AADC akan dilanjut setelah 14 tahun Rangga menjanjikan satu purnama, tidak demikian dengan Supernova. Novel legendaris Mbak Dee ini mampu istiqomah lahir tiap periode selama 15 tahun. Cerita fiksi yang menyiratkan perjalanan spiritual Mbak Dee dalam menemukan ajaran kasih Bodhi.

Pengabdian Mbak Dee pada penulisan Supernova membuat saya terbayang akan pengabdian Pramoedya Ananta Toer dalam menulis karya-karyanya. Karya yang ditulis di dalam penjara. Meski jauh dari kenyamanan dan keamanan menulis, penjara tak membuatnya sejengkal pun berhenti menulis. Sama sekali tidak kepikiran bahwa karyanya akan disukai orang dan laris di pasaran. Tidak dirampas dan dibakar saja sudah lebih dari melegakan.


Bukan saya ingin membandingkan, karena jelas beda dari segi zaman dan aliran sastranya, juga berbagai segi lainnya. Bung Pramoedya Ananta Toer (biar kerasa masih muda, nggih  Mbah) menulis di zaman penjajahan Belanda. Sedangkan Mbak Dee menulis di zaman yang membuat Bung Pram terbakar amarah sendirian. Lalu Bung Pram menulis dengan aliran sastra realisme sosialis, sedangkan Mbak Dee aliran fiksi ilmiah. Lho, katanya bukan mau membandingkan.

Baiklah, saya memang tidak akan membandingkan, tapi perkenankan saya untuk sekedar mengenang Tetralogi Buru. Mahakarya roman sejarah bacaan wajib muda mudi gerakan kiri. Masa kakak saya mahasiswa, yang hidup di era Kak Fahri Hamzah gandrung akan gerakan mahasiswa di sisi kanan, dan Bang Adian Napitulu di sisi kiri, karya Bung Pram bukan berupa buku, melainkan fotokopian. Beredar rahasia melalui akad pinjam-meminjam. Memiliki, meminjam, maupun sekedar membacanya bisa dianggap makar. Maka membacanya harus sembunyi-sembunyi.

Pasca tumbangnya Bapak Pembangunan, kran demokrasi dibuka deras, uforia kebebasan berpendapat gempita dirayakan. Pun juga dalam kebebasan menulis. Banyak gaya jurnalistik dan sastra gaya baru lahir. Muncul berbagai media cetak baru dan banyak nama penulis karya sastra dikenalkan.

Jujur, saya berkenalan dengan karya Bung Pram itu agak terlambat. Lebih dulu saya membaca Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Di masa saya maba unyu, Supernova lagi ngehits tuh. Nah, demi dibilang kekinian sehingga nyambung dalam obrolah mahasiswa pers kampus, ya beli Supernova dong, baca dong. Mbak Dee melahirkan Supernova #1 bersamaan dengan latahnya perempuan penulis yang dikenal dengan sebutan sastra wangi. Namun Mbak Dee sepertinya kurang berkenan jika dimasukkan ke dalam sastra wangi, karena toh tulisannya bukan tentang perempuan wangi yang tabu dan layak untuk dinovelkan.

Baru kemudian saya mengenal Bumi Manusia, rekomendasi nama Pramoedya Ananta Toer dari kakak saya. Beruntung saya bermahasiswa saat Supenak jamanku toh sudah lengser keprabon. Saat banyak karya Bung Pram bisa dibukukan, diterbitkan oleh Hasta Mitra. Sayang tidak semua, hanya beberapa karya yang berhasil diselamatkan dari rampasan. Dalam wawancara cetak berjudul Aku Terbakar Amarah Sendirian, Bung Pram mengaku bahwa Tetralogi Buru berhasil diselamatkan karena beliau menulis dan menyalinnya. Salinan itu beliau titipkan pada seorang pendeta gereja di Pulau Buru. Bayangkan, menulis empat sekuel roman sejarah yang tebalnya ngujubileh, lalu menyalinnya. Semata karena beliau teguh bahwa menulis adalah tugas pribadi dan tugas nasional.

Atas segala lelaku hidup yang dilihat dan dialami, tampaknya Bung Pram mampu meramalkan masa depan anak bangsanya. Bahwa sejarah akan dengan segera diburamkan. Lewat karakter tokoh bernama Minke, beliau menceritakan liku-liku sejarah zaman penjajahan. Dengan indera seorang Minke, sang anak bupati, feodalisme ningrat jawa digambarkan sebagai penindasan kecil yang memuakkan. Titik awal sebuah pemikiran perlawanan di mana kalimat Adil Sejak dalam Pikiran yang sohor itu dikenalkan. Dan Minke muda memulai perjuangannya dengan berwarta. Hingga ternyata, banyak ditemukan kesamaan tokoh dan peristiwa bahwa Minke tak lain adalah Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo. Pejuang pers yang baru memperoleh gelar pahlawan pada tahun 2006.

Masa sekarang, saat saya sudah menjadi Mahmud Abas. Menyempatkan menulis sambil nungguin anak, sukur kalau bisa kelar membaca novel Intelijensi Embun Pagi yang tebalnya hampir sama dengan Rumah Kaca. Dua novel pamungkas dari dua penulis beda zaman. Saya melihat konsistensi menulis dari seorang Mbak Dee sungguh luar biasa, 15 tahun dia menggenggam seluruhan tokoh dalam imajinasinya. Riset ilmiah dan spiritual dilakukan demi merampungkan novel yang sudah dianggap anaknya sendiri itu.

Kehadiran Supernova selalu disambut dengan ramai hingga menjadi ikon manusia doyan baca masa kini. Kabarnya, IEP sudah sold out di mana-mana. Jauh sebelum dilempar ke toko buku, Mbak Dee sudah promo-promo di akun media sosial miliknya. Bisa order langsung ke beliau plus dapat tanda tangannya. Saat saya semester dua dulu, saya ikut ngantri tanda tangannya di acara bedah buku Filosofi Kopi. Tulisannya memang kemripik ringan namun mengenyangkan bagi semua kalangan. Novel yang dihasilkan dari riset dalam dan menyeluruh menjadikannya sebuah cerita yang hampir mendekati nyata. Hingga mampu menginspirasi banyak orang berprinsip dan gaya hidup seperti dalam cerita. Lewat Supernova, Mbak Dee mampu menebarkan ajaran cinta dan petualangan tanpa batas.

Maka kemudian saya berandai, jika saja Tetralogi Buru mengalami nasib baik senyaman Supernova. Tanpa pernah melewati masa ditulis dalam kamp kerja paksa. Kemudian kelahirannya tanpa diburu dan diharamkan. Mungkin sejarah tak terlalu buram seperti sekarang. Hingga penulisnya telah wafat pun tak banyak anak muda negeri ini yang tahu tentang roman sejarah yang telah diterjemahkan lebih dari 42 bahasa itu. Karya seorang 'anak semua bangsa' yang menjadi buku rujukan ilmu sastra dan budaya di banyak kampus mancanegara.

Tak lupa, saya ucapkan selamat kepada Mbak Dee yang mana IEP sudah langsung cetak ulang. Karya sampean telah membawa ajaran mempesona di tengah sengkarutnya ragam sudut pandang dangkal nan keras yang riuh di media sosial. Asmara terlarang Ruben dan Dimas misalnya, menjawab pro kontra LGBT, toh karena mencinta ya tetap tentang berbuat mencinta, jauh dari soal anggar.


Dan Tetralogi Buru, jangan biarkan dia tenggelam dikubur masa. Mari terus bercerita tentang legenda moyang kita. Pendahulu kita orang hebat itu nyata. Zaman berubah menurut arus waktu, jika Bandung Bondowoso dengan candinya mampu membuktikan dirinya ada. Maka Bung Pram dengan banyak karyanya telah mewartakan hebatnya perjuangan bangsa. Semampunya, sekuatnya melawan lupa, Naknyo.

No comments:

Post a Comment