Friday, February 19, 2016

Merantau, Urip Mung Dulinan Monopoli

Louie Zamperini pernah berharap ingin bisa pergi ke Tokyo. Louie akhirnya bisa ke Tokyo, meski awalnya dengan cara yang tidak menyenangkan yaitu sebagai tawanan perang. Toh kemudian pada masa tua keinginananya terwujud, sebagai pembawa obor Olimpiade di Tokyo. "Hati-hati dengan harapanmu, kawan" ucap teman Louie saat perjalanan menuju kamp tawanan.

Saat kecil, saya suka bermain Monopoli. Permainan lempar dadu untuk menentukan kota-kota persinggahan para pemain. Donggala, Sampit, Manado, Balikpapan, Singaraja, Denpasar, Surabaya, Jakarta, dan kota-kota lain di Indonesia. Ada kotak Kesempatan dan Dana Umum, hati-hati awas masuk penjara. Waktu itu bermain Monopoli sangat seru, biasanya siang sampai sore pun betah. Sorenya kalau nggak segera pulang untuk mandi, jangan kaget jika tiba-tiba ada emak atau bapak nongol dengan sebatang kayu. "Ayo pulang, mandi!" Indahnya masa kecil tanpa gadget, hahahaha...
Kesukaan bermain Monopoli itu membuat saya penasaran dengan kota-kota tersebut. Terbersit keinginan suatu saat ingin menyinggahi satu per satu kota itu. Dalam permainan Monopoli, setiap kota punya nilai ekonomi. Yang paling mahal kalo nggak salah ingat kota Denpasar dan Jakarta.
Pemukiman Kampung Baru Ujung, Kota Balikpapan.


Beranjak kelas 3 SD keinginan mulai terwujud, bisa sampai di Jakarta karena diajak ibu rombongan ziarah Wali Sembilan yang mentok sampe Banten. Lama perjalanan ziarah ini enam hari berkendara bus pariwisata. Hari ketiga biasanya sampai di Jakarta, setelah malamnya menginap di masjid Cianjur, subuh rombongan menuju Jakarta. "Ayo pak bu, iniloh Jakarta, jangan tidur, kalau tidur nanti ditanya tetangga cuman bisa bilang Jakarta gelap" seru ibuku pembimbing rombongan. Dan jadilah, saya sebagai anak ibuku si backpacker walisongo setiap liburan sekolah selalu nyambangi Jakarta.

Lagi-lagi keberuntungan si anak ibuku sang guru TK. Setiap tahun, organisasi guru TK mengadakan wisata, tujuan favorit tentu saja Pulau Bali. Ikutlah saya ke Bali, syaratnya nggak boleh minta beli apa-apa, sangu perjalanan sang guru TK mepet, hanya cukup untuk beli makan dan minum. Manut saja lah, yang penting diajak. Dadu dilempar, enam langkah, voila! Denpasar.

Kemudian kuliah mulai ikut organisasi mahasiswa. Petualangan pun dimulai, Bogor ditempuh berkereta api kelas ekonomi bareng teman-teman. Uang pas-pasan, hanya cukup beli makan dan minum itu pun harus dieksekusi rame-rame.

Lampung. Karena tertarik dengan pelatihan 'rahasia', sampailah di Lampung meski hanya mencicipi ujung daratan di timur Pulau Sumatera yang berdekatan dengan Pelabuhan Bakauheuni.
Batam. Perjalanan pertama karena acara kongres organisasi mahasiswa. Pertama kalinya naik pesawat euy! Gelap, karena ketiduran setelah mengalami pertengkaran sengit dengan senior di Jakarta. Dan perjalanan kedua beberapa tahun kemudian karena urusan kerja. Mengunjungi tempat lokalisasi di Batam.

Lalu saya lempar dadu, berikutnya berulang kali dapat Kesempatan dan Dana Umum. Kesempatan menikah dan dapat Dana Umum digaji tanpa kerja hehehehe... Lempar dadu dapat lagi Kesempatan diboyong suami ke Manado. Cukup dua tahun kami bertahan di Manado, kota yang ramah dan banyak pesta. Sekira tidak mempertimbangkan karir suami, mungkin kami betah tinggal di Manado. Rumah standar tipe 36 yang baru dicicil satu tahun, harus rela kami titipkan ke teman. Dan lempar dadu lagi yooook,.
Jam'iyah Yasinan Jabal Nur di Perumahan Gritma, Manado.
Jama'ahnya Bapak-Ibu-Anak- sekeluarga boleh hadir semua.
Balikpapan. Alhamdulillah, bisa sampai juga di Pulau Kalimantan. Balikpapan sangat ideal bagi pendatang, karena kota ini hampir semua penduduknya memang para pendatang, dan kebanyakan dari suku Banjar, Jawa, dan Bugis. Dominasi ketiga suku ini terlihat saat perhelatan Pilwako tahun 2016 lalu. Ada tiga pasangan cawako, masing-masing mewakili suku dominan tersebut.

Baiklah, jika memang hidup adalah permainan Monopoli. Terus melaju menurut noktah dadu, pilihannya hanya satu: nikmati. Beragam cara menikmati permainan ini, yang utama jangan pernah menutup diri dari pergaulan masyarakat setempat. Sejak tiba di rumah kontrakan baru, yang pertama fardu ain ya berkenalan dengan tonggo teparoh, tetangga mepet rumah. Selanjutnya segera temukan perkumpulan ibu-ibu semacam arisan, PKK, maupun pengajian. Meski banyak stempel negatif bagi perkumpulan ibu-ibu, saya nggak mau menutup diri dari ritual sosialita ala kadarnya ini.
Tidak dipungkiri jika stempel negatif memang dilekatkan pada kumpulan ibu-ibu. Bahkan, pernah saya lihat komentar teman di fesbuk, yang mendiskreditkan emak-emak kampung identik dengan aktifitas 'bisanya ngrumpi doang'. Untuk hal semacam itu saya malas menanggapi. Toh, kembali pada niat masing-masing orang, untuk apa ikut kumpulan begitu, yang jelas menurut saya lebih banyak manfaatnya.

Tapi dari pengalaman rantau saya, saya masih hanya sebatas ikut pengajian ibu-ibu. Misi utama saya ikut pengajian adalah mencicipi hidangan khas daerah. Hohoho,.. Ternyata jauh dari misi cari pahala mengajinya ya ukhti?

Dari ikut pengajian dan menyantap hidangannya, di Manado saya jadi tahu  Ayam rica, Tinutuan (bubur Manado), Mi Cakalang, Panada, Lampu-lampu, Bebek Langoan, Es jeli Kafemix, Nasi Kuning Cakalang, dan makanan lain khas Manado. Di Balikpapan, sejauh ini saya sudah merasai Burasa, Soto Banjar, Sanggar Cempedak, dan makanan lain kebanyakan makanan ala Jowo.

Setali tiga uang, sambil menyelam cari ikan. Ikut pengajian menikmati makanan bonus pelajaran bahasa. Sebenarnya, ada misi emosional saya ikut pengajian. Yaitu, dengan berada di tengah ibu-ibu yang melantunkan yasinan itu, saya sungguh merasa sedang bersama Almarhumah ibu saya. Saya melihat orang-orang yang sama dengan ibu saya, saya merasa ibu pun merasakan kehadiran saya di majelis ilmu. Dulu ketika saya hamil, setahun setahun sebelum kepergian ibu, beliau selalu mengajak saya ke jam'iyah Yasinan jumat malam dan Rotib selasa malam. Katanya, kalau ikut pengajian begitu kita jadi punya banyak keluarga, nanti di rantau carilah dan ikutlah majelis ilmu.

Jm'iyah Shalawatan Ibu-ibu RT. 18 Kampung Baru Ujung, Kota Balikpapan
Meski jama'ahnya hanya sepuluh orang dan beberapa sudah tua, tapi semangat tabuh rebana sungguh membahana.
Dan karena niat saya seperti di atas itu tadi, incipi makanan berharap bonus pahala dari Gusti Allah. Maka, Alhamdulillah di rantau saya selalu bertemu dengan orang-orang yang baik dan menyayangi keluarga saya. Manado, selalu memberikan kenangan indah bersama keluarga Jabal Nur. Balikpapan, semoga kami selalu mampu menjaga ukhuwah di bumi Madinatul Iman.

Berikutnya, berharap noktah dadu mengantar kami pulang ke Jawa. karena kami mengamini Djawa adalah Koentji. Semoga nanti suatu tempat yang dirahmati Allah. Aamiin.

No comments:

Post a Comment