Thursday, September 2, 2010

Mereka dan Konversi LPG

Ini cerita tentang pengalaman saya sebagai petugas surveyor konversi minyak tanah ke LPG. Di tahun 2008 Pemerintah menelurkan kebijakan yang banyak menuai kritik. Kebijakan konversi minyak tanah ke LPG. Menurut pengamat regulasi, ini adalah kebijakan paling bodoh karena dipaksakan kepada masyarakat Indonesia. Demikian karena menurut mereka konversi ini tidak dibarengi dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dibentuklah sebuah tim besar di Kota Malang yang bertugas melakukan sosialisasi dan survey masyarakat. Aku dengar di beberapa daerah lain menolak konversi ini. Ada isu bukannya menolak, tapi menunda untuk digunakan kepentingan kampanye calon wali kota tertentu. Tim di Malang ini memang terkesan dipaksakan. Aku yang waktu itu sangat membutuhkan pekerjaan hanya tahu ada lowongan pekerjaan. Belakangan baru kutahu pekerjaan itu adalah sosialisasi penggunaan kompor LPG dari rumah ke rumah.



Orang pertama yang kutemui adalah seorang janda tua. Dia tinggal sendirian di rumahnya yang kecil di sudut gang. Aku menerangkan padanya cara penggunaan LPG dan pemasangan perangkat kompor itu. Sekaligus kuberitahukan bahwa dia mendapat kompor dan tabung LPG gratis. Tak kulihat raut gembira pada wajahnya, justru ketakutan yang jelas terlihat.

Berlanjutlah aku ke rumah yang lainnya. Tidak semua menerima kedatanganku dengan baik. Kerap aku diusir disangka sales perangkat LPG. Pada hari pembagian kompor dan tabung LPG gratis, orang-orang yang pernah mengusirku tampak ikut mengantre. Karena tidak mendapat jatah berdasarkan dataku, mereka lalu berbaik-baik meminta diberi juga.

Setelah rakyat terbiasa dengan pembagian BLT (Bantuan Langsung Telas), raskin, dan inilah yang gratisan yang disuka. Penguasa negeri (bukan Pemerintah lo...) berhasil membentuk mental pengemis bangsanya. Pembagian kompor dan tabung gratis turut menyumbang upaya pembentukan mental itu. Sejak itu, masyarakat mulai akrab dengan segala pembagian gratisan. Hingga pemilihan wakil rakyat dan presiden, masyarakatlah yang mengemis.

Hanya satu bulan aku bertahan sebagai petugas surveyor. Seharusnya masih dua bulan lagi kujalankan tugasku. Biar yang lain saja melanjutkan, aku sudah tak sanggup.

Dua tahun berlalu. Kini banyak korban tabung LPG yang meledak. Korban luka ringan, hingga meninggal berikut rumahnya yang runtuh.

Pemerintah dan pihak Pertamina yang disalahkan. Aku sepakat jika Pemerintah harus bertanggung jawab dengan banyaknya korban. Namun, yang perlu diingat adalah kewaspadaan penggunaan kompor LPG. Banyak korban dari masyarakat miskin. Mereka hanya mampu menggunakan tabung dan perangkat kompor yang dibagikan gratis dua tahun lalu. Mereka belum mampu menggantinya dengan yang dijual sekarang. Yang berlabel SNI masih belum bisa dijangkau. Nyatanya, hingga sekarang, konversi itu belum diikuti peningkatan kesejahteraan masyarakat.

No comments:

Post a Comment