Saturday, September 4, 2010

ANAK SEMUA BANGSA


Kesadaran Minke Tergugat, Tergurah, dan Tergugah


Roman kedua tetralogi Buru, Anak Semua Bangsa. Minke yang aktif menulis tentang kritik kemanusiaan dihadapkan pada tantangan baru. Tantangan sebagai Pribumi lulusan H.B.S yang hanya selalu menulis dalam bahasa Belanda. Sahabatnya, Jean Marais menantangnya untuk menulis dalam bahasa Melayu. Sahabatnya yang lain, Kommer, lebih keras mendorongnya turun ke bawah mencari serangkaian spirit lapangan dan kehidupan arus bawah Pribumi yang tak berdaya melawan kekuatan raksasa Eropa.

Dirangkai dengan banyak cerita perjalanan hidupnya bersama Nyai Ontosoroh, gurunya yang agung. Kematian istrinya, Annelies di Nederland, tidak membuat Minke terpuruk dan arut dalam kedukaan. Mamanya, sang Nyai yang mengajarkan bagaimana menghadapi kepedihan. Adalah melanjutkan hidup, berdamai dengan nasib dan mengutamakan hal kemanusiaan seadil-adilnya.


Kunjungan Minke dengan Nyai Ontosoroh ke pabrik gula Tulangan, Sidoarjo, membuka mata batin Minke tentang ketakberdayaan bangsanya. Cerita Surati yang membunuh Administratur pabrik gula dengan menulari virus cacar. Dan cerita Trunodongso yang berkukuh dengan segenap keberanian menolak tanahnya disewa oleh pabrik gula. Dan dia bilang: memang bukan seorang diri diperlakukan demikian. Dia tidak menghadapi Eropa saja, dia menghadapi Pribumi juga: Punggawa desa, Pangreh praja dan para priyayi pabrik, termasuk Sastro Kassier tentunya.

Ciri khas gaya penulisan Pramoedya yang menonjolkan sisi humanisme universal semakin bernada berani mengungkap paradoks kehidupan kolonial. Sisi humanisme ditampilkan dalam pengisahan Surati dan Trunodongso. Sedangkan sisi universal jelas terlihat dari pengalamannya observasi ke pedalaman bangsanya. Dengan rendah hati aku mengakui: aku adalah bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orang tua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat.

Dalam roman ini Minke dan Nyai Ontosoroh kembali dihadapkan pada persoalan pengadilan. Surat Robert Mellema yang menerangkan persekongkolan dengan Ah Tjong untuk menyingkirkan Mama, Annelies, dan Minke. Tujuannya tak lain agar Robert menjadi pewaris tunggal dan Maiko menjadi gundiknya. Surat ini membuka pengadilan baru untuk menyelesaikan perkara meninggalnya Herman Mellema beberapa tahun silam. Rupanya, kongkalikong proses pengadilan telah ada sejak jaman kolonial ini. Proses yang bertele-tele lebih pada mempertimbangkan kepentingan Ir. Maurits Mellema, anak Herman Mellema dari perkawinan sah dengan Amelia Hemmers di Nederland. Sebisanya Maurits menjadi pewaris tunggal Boerderij Buitenzorg sekaligus mendepak Sanikem tanpa secuil pun harta perusahaan.

Minke selalu mengagumi kebesaran Eropa dan peradabannya. Karena dia lulusan H.B.S yang cukup matang beroleh ilmu pengetahuan dan wawasan mengenai Belanda. Pengetahuan yang sempat merentangkan jarak dirinya dengan sang Ayah yang bupati. Menghadapi keculasan Maurits, Minke menyadari dalam jaman ini tak ada cara Pribumi menggugat Eropa. Adat Eropa yang dianggapnya lebih baik dari adat Pribumi disadari tidak sebaik kelihatannya. Eropa tak lebih hanya bangsa penghisap kekayaan bangsa lain hingga menjadi sepah. Keringat Pribumi ditukar dengan segala kemewahan pesta dan kelanggengan peradaban Nederland, Eropa.

No comments:

Post a Comment