Saturday, April 18, 2015

Gempita Pilpres di Mata Seorang Ibu

Saya hanya seorang ibu. Perempuan yang terdampar jauh dari teman dan keluarga, mengikuti suami dinas kerja di ujung utara Indonesia. Keseharian hanya merawat anak yang masih balita dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Di masa kampanye Pemilihan Presiden tahun 2014 ini saya merasakan kegembiraan demokrasi yang hanya bisa saya nikmati dari media televisi maupun media sosial. Ingatan saya kembali pada saat saya masih kelas dua eSeMPe di tahun 1998. Kala itu saya rajin mengkliping gambar dan berita tentang arus mahasiswa dalam gempita reformasi. Saya mengkliping gambar dari koran langganan bapak saya, koran Surya, mungkin kliping itu masih ada di rumah bapak saya (penasaran pengen ngecek).

Kala itu mungkin saya belum mengerti apa yang dilakukan kakak-kakak mahasiswa di gedung MPR RI. Tapi, ingatan saya lekat dengan sebuah tontonan tentang perjuangan, bersatunya mahasiswa melawan Pak Harto. Keren. Kakak-kakak yang tertembak-kasihan, dan orang tua mereka yang bersedih. Tak sampai saya mengkliping kejadian yang dialami etnis Tionghoa di Jakarta,karena mungkin luput maupun dilarang diliput media. Dan saya juga masih ingat bagaimana rumah dan toko yang terletak di pinggir jalan raya di Mojokerto dan. daerah lain jadi banyak grafiti bertulis “Pro Reformasi”, “Keluarga Muslim”, dan ada juga yang membentangkan sajadah di halaman rumah maupun toko. Politik identitas memainkan perannya.


Kemudian 16 tahun masa itu berlalu. Kini, gempita demokrasi itu sedang bergemuruh. Mahasiswa yang dulu menduduki atap gedung wakil rakyat, beberapa ada yang sekarang menduduki kursi wakil rakyat. Saya kembali menonton mereka dalam layar kaca maupun kicauan di jejaring sosial, di saat saya mulai mengerti apa itu idealisme dan bagaimana idealisme bagi masing-masing mereka.
Sekali lagi, saya hanya seorang ibu rumah tangga yang berada di suatu tempat menurut saya entah, karena di sini saya tidak bisa berbuat apa-apa dalam memperjuangkan sesuatu yang dulu pernah saya bayangkan. Ya, ketidaktahuan, teralienasi. Bahagia ketika akhir pekan bersama suami dan anak saya mengunjungi playground di sebuah mall. Sebuah kubus kaca dalam Dunia yang Dilipat*.
“Saya hanya seorang Ibu, yang penting suami kerja halal, saya bisa masak dan keluarga makan kenyang”, mungkin kalimat itu cocok untuk saya. Tapi, bagi saya itu tidak cukup. Saya biarkan saja adrenalin bergolak ketika capres dukungan saya difitnah, diserang, dan saya terang menunjukkan siapa capres pilihan saya, di mana saya berdiri “on the right side”. Saya merasa harus tahu, dan harus aktif mendukung dan turut menentukan sebisa saya, semampu saya dengan segala keterbatasan ruang gerak.

Karena apa? Karena saya inginkan iklim hidup yang kondusif bagi pendidikan anak saya kelak, dengan menteri pendidikan kalangan profesional maka anak saya kelak tidak menjadi uji coba penerapan UN/Tidak UN. Karena saya inginkan anak saya kelak hidup sejahtera dalam naungan Kedaulatan Pancasila Bhineka Tunggal Ika.
Akhirnya saya berterima kasih kepada suami saya. Dia yang menyediakan telinganya mendengar saya berceloteh tentang pilpres di sela kesibukan memasak, mencuci piring, bahkan menyambutnya di pintu sepulang kerja dengan kabar terbaru capres dukungan saya. Toh sebentar lagi giliran saya bersabar melihatnya manteng depan tv nonton Piala Dunia.
Biarlah saya dicibir sok ikutan ngurusin Pilpres, karena memang ini urusan saya lo,. Bahwa saya hanya ingin sedkit peran dalam menentukan masa depan bangsa. Karena Ibu adalah tiang Negara dan sholat adalah tiang agama.

*Dunia yang Dilipat, Yasraf Amir Piliang

No comments:

Post a Comment