Thursday, March 24, 2016

Meneguhkan Emak Kampung Nusantara


Emak kampung itu ya, meski selalu update berita terkini dan bergumul dengan sosmed demi browsing resep pizza dan tips parenting, masih saja ada yang memandang remeh. Kesannya emak kampung itu berkonotasi negatif tok. Pernah saya baca komentar di fesbuk yang mendiskreditkan emak kampung saat teman saya menshare status tokoh partai sabit padi. Tokoh partai tersebut sedang ngerasani acara mitoni istrinya Mas Gibran. "Duh lelaki kok mulutnya kayak ember bobrok, demennya ghibah, kalah emak-emak kampung" begitu komentar akun dengan foto prempuan.

Lha, saya sebagai anggota konsorsium emak-emak kampung jelas terhina dengan komentar njelehi tersebut. Masa’ emak kampung yang bersahaja ini harus dibandingkan dengan tokoh partai yang petingginya beristri lebih dari dua itu. Fokus isunya tentang kegemaran ghibah lagi. Padahal yang saya tahu, emak kampung itu adalah barisan makhluk mulia dengan surga di telapak kakinya.


Sampean ndak mau disebut emak kampung? Kenapa? Karena wis merasa tinggal di kota, kerja di kantor atau sibuk di rumah? Ya ndak apa-apa sih. Asal jangan remehkan kekuatan emak kampung yang kiprahnya sudah diakui sejak jauh sebelum era Kartini ini.
Jangan pula melupakan bahwa ibu sampean, guru ngaji, guru sekolah, dan ibunya bapak presiden itu adalah emak kampung.

Di abad ke-19 saat para perempuan borjuis berdiskusi dan menghasilkan pemikiran filsafat feminisme, bahwa perempuan berhak mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Para emak kampung sudah lama mempraktekkannya. Lebih dari setara dengan laki-laki bahkan hampir menggantikan posisi laki-laki.

Sebutlah Laksamana Keumalahayati, ia adalah emak kampung yang menjadi panglima angkatan perang Kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Al Mukammil (1589-1604). Ia mendapat kepercayaan menjadi orang nomor satu dalam militer dari sultan karena keberhasilannya memimpin pasukan wanita.

Saya jadi ingat ibu saya, beliau dulu dikenal sebagai pioneer di kampung tempat lahir saya. Beliau yang orang kota, harus tinggal di kampung desa demi mengikut suaminya, ayah saya. Bersama teman dekat yang baru dikenalnya, beliau membentuk jam'iyah rotiban, yasinan, diba'iyah untuk remaja perempuan, dan membentuk kepengurusan organisasi perempuan tingkat kelurahan. Beliau melakukan itu semata agar punya banyak teman, bersosialita lah maunya. Belakangan beliau sadar bahwa ada kekuatan besar dari emak kampung yang harus dijaga dan dikembangkan.
Jam’iyahan atau berkomunitas dengan adanya suatu kepengurusan merupakan upaya mendidik para emak dalam berorganisasi. Demi mengamalkan seruan Pramoedya Ananta Toer, “Didiklah rakyat dengan organisasi”.

Jam’iyah emak kampung memang kegiatannya ya hanya begitu-begitu saja, kumpul dan melantunkan doa diakhiri makan bersama. Sesekali diselipkan wejangan ceramah dari kyai atau bu nyai kampung. Tapi dengan berkegiatan yang sekedar ngumpul bergiliran dari rumah satu ke rumah lainnya itulah tugas beratnya. Eksistensi mereka menjaga tradisi islam di Indonesia. Tradisi yang dijalankan dalam rangka, menurut ibu saya, menyiapkan sangu mati.

Hingga tiba giliran saya yang jadi emak kampung, mamah muda yang nunut rantau mengikut suami. Saya ikut jam'iyah Yasinan dan Shalawatan kok banyakan anggotanya para ibu yang sudah jadi eyang. Jam'iyah minim anggota ibu muda, ada kesan sepertinya kok membosankan kumpul ibu-ibu tua. Mungkin memang ada alasan yang menghalangi datang ke jam'iyah seperti anak masih kecil yang nggak mau ditinggal. Padahal Rasulullah sudah mengingatkan gunakan 5 perkara sebelum 5 perkara, terutama senggangmu sebelum sibukmu.

Ikut jam'iyah semata membuat saya bernostalgia dengan almarhumah ibu, pesannya kala itu "kalau meninggal siapa yang akan datang kalau ndak pernah ikut jam'iyahan" hiiii,... Ngeri nggak tuh.
Ah, bukan saya mau macak ustadzah dengan mengingatkan sampean untuk hadir ke pengajian. Cuman, saya melihat eksistensi ibu muda ini sangat diperhitungkan. Jamaah One Day One Juz anggotanya kebanyakan mamah muda, dan liqo' para akhwat kebanyakan ummahat muda. Sedangkan pengajian tradisional semakin dibiarkan menjadi milik ibu-ibu tua tanpa ghirroh yang sama oleh ibu-ibu muda.

Sosialita ala jam'iyahan itu luar biasa ukhuwahnya. Saya melihat contoh nyata saat ibu saya sudah meninggal, saat kami menyiapkan acara selametan haul 1 tahun almarhumah, teman-temannya dengan sukarela datang mengaji khataman dari pagi hingga siang. Bagi yang ajarannya tidak sepemahaman dengan saya boleh menyanggah inisiatif teman ibu saya itu. Tapi mari dilihat substansinya, bahwa persahabatan ibu saya dan teman jam'iyahnya itu terjalin begitu tulus. Bagaimana mereka saling menguatkan dengan doa, sudah meninggal saja begitu perhatiannya, bagaimana semasa masih hidupnya? Bermuwajjaha seminggu sekali yang disatukan oleh do'a bersama, lantunan shalawatan dan dzikir bersama, sungguh menghasilkan ukhuwah luar biasa. Tak kasat mata.

Kalau saya sebagai rantau sih, besar sekali manfaat ikut jam'iyah. Pertama, mendapat banyak teman baru. Kedua, banyak mengincip makanan baru. Karena jam'iyah itulah saya tidak heran ketika acara Maulid di Istana Presiden, dibuka dengan qiro'ah langgam jawa. Toh teman saya banyak yang mengaji dengan langgam ragam nusantara.

Lebih dari sekedar kumpul dan berdoa, jam’iyah emak berpotensi menjadi wadah gerakan perempuan progresif. Dengan pengetahuan politik yang mumpuni, mereka tidak lagi  disepelekan. Suara mereka tidak mudah diarahkan dan dibeli, yang hanya diperhitungkan saat pilkada. Sebaliknya, justru di tangan emak kampung lah kemajuan warga dengan mudah digerakkan. Perbedaan pendapat boleh terjadi, tapi panggilan mengaji bersama sungguh sayang untuk dihindari. Dari wajah polos dengan lidah kelu melafadzkan doa, kesatuan islam di seantero nusantara takkan mudah dipecah.

Dengan demikian, integritas emak kampung yang bersahaja akan senantiasa terjaga. Memegang prinsip ukhuwah tanpa ghibah dan melestarikan tradisi jam'iyah.
Karena Islam di Indonesia kuat dengan terjaganya tradisi jam'iyahan. Sayang jika anggotanya hanya kebanyakan ibu-ibu tua, semestinya banyak juga dipenuhi ibu muda sehingga ada regenerasi.

1 comment:

  1. artikelnya menarik, bu/mbak...
    saya yang kini masih mahasiswa terkadang dulu hanya melihat peran organisasi mahasiswa, kampus, lsm, atau dinas2 pemerintahan krg memperhatikan peran masyarakat sperti tahlilan, dsb..
    alhamdulillah baru minggu kemarin bisa mengikuti jamaah yasin di RT tempat kontrakan..

    ReplyDelete